Inilah para Maasai warriors |
Kata pendekar membuat kita membayangkan
sosok yang kekar, tangguh dan perkasa. Paling tidak itulah yang ada
di benak saya sebelum berkunjung ke kampung suku Maasai. Siapa yang
menyangka jika pendekar-pendekar Maasai ini ternyata kurus-kurus,
memakai sarung seperti mau ronda, bersenjatakan tongkat kayu dan
bekerja sebagai penggembala sapi? Wah, rusak deh image saya
tentang pendekar perkasa!
Inilah tempat di mana mereka tinggal. Bagian dalamnya walau kecil dapat memuat satu keluarga besar. |
Suku Maasai adalah suku yang nomaden.
Mereka hidup berpindah-pindah dari satu area ke area yang lain di
padang rumput Kenya dan Tanzania. Oleh karena kehidupan yang nomaden
ini, gubuk-gubuk mereka didesain seadanya dengan menggunakan kayu
sebagai kerangka dan campuran lumpur, ranting, kotoran sapi serta
urin manusia sebagai lapisannya. Bentuknya seperti sebuah igloo,
dengan diameter sekitar 4-5 meter dan tinggi 1.5m. Di dalamnya gelap,
hangat dan berasap. Satu-satunya penerangan di dalam gubuk berasal
dari kayu bakar yang digunakan untuk memasak.
Wanita-wanita Maasai |
Tarian ritual khas Maasai |
Setibanya di kampung Maasai, saya
disambut dengan nyanyian dan tarian khas mereka. Sebenarnya tidak
bisa dibilang sebuah tarian menurut saya, lebih seperti acara
loncat-loncatan. Ritual loncat-loncat ini dinamai adumu,
di mana masing-masing pendekar akan silih berganti beradu lompatan
setinggi-tingginya dengan tumit tidak menyentuh tanah. Makin tinggi
lompatannya, makin tinggi pula nada nyanyiannya.
Yang
paling menarik dari suku Maasai ini bagi saya adalah culture-nya.
Seorang Maasai dianggap kaya jika dia memiliki banyak sapi dan banyak
anak, jika hanya memiliki salah satunya saja, dia akan tetap dianggap
miskin. Sapi dianggap sebagai simbol status dan parahnya lagi, mereka
percaya bahwa Tuhan menciptakan semua sapi di dunia sebagai hak milik
mereka. Jadi jika sapi milik orang lain diambil, bagi mereka itu
bukan mencuri, tetapi mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi
milik mereka. Selain jumlah sapi, status seorang Maasai juga dilihat
pada saat dia meninggal. Tubuh seorang Maasai yang sudah meninggal
akan dibiarkan begitu saja di suatu tempat agar disantap hewan
pemangsa, seperti hyena. Mayat yang tidak dimakan oleh binatang liar
akan mengundang tanda tanya dan menjadikan orang tersebut hina di
dalam keluarganya.
Sekolahan ala Maasai |
Saya
juga berkesempatan diajak mengunjungi "sekolahan" bagi
anak-anak kecil Maasai. Bentuk sekolahan ini (maaf!) seperti kandang
saja, tidak beratap atau berdinding dan kotor oleh lumpur. Walau
demikian, anak-anaknya tidak ada yang protes, mereka malah sibuk
bermain dan saling bercanda tawa. Begitu saya masuk ke dalam untuk
bergabung bersama anak-anak itu, mereka langsung tersenyum dengan
mata berbinar-binar dan serentak mengucap, "Teacher,
how are you?"
Kehidupan
suku Maasai memang jauh dari segala kemewahan dunia, terlebih jika
dilihat dari sudut pandang saya yang lahir dan dibesarkan di kota.
Beratus-ratus tahun lamanya mereka hidup nomaden seperti ini, namun
mereka masih dapat mempertahankan keutuhan sukunya di tengah-tengah
dunia yang semakin modern. Kata pendekar memang layak disandang oleh
pemuda-pemuda Maasai karena merekalah yang menjadi pelindung suku
dari segala ancaman luar. "We,
Maasai people, are not afraid of anything. We are warriors",
begitu ujar salah satu pendekar. Tapi berikutnya ada yang menyeletuk,
"We are only scared
of one thing".
Apakah itu...?
"Water!
We cannot swim, hehe..."
No comments:
Post a Comment