Downtown Nairobi yang lumayan semrawut
Kota Nairobi mengingatkan saya pada
sebuah kota kecil di Indonesia. Masyarakatnya banyak yang berjalan
kaki dan tidak banyak bangunan-bangunan tinggi terdapat di sana.
Sarana transportasinya juga kurang terlalu memadai, yang ada cuma bus
umum dan taksi butut tanpa argo.
Jalan-jalan di dalam kota Nairobi cukup berdebu, tapi saya
lumayan heran orang-orang di sana seolah-olah tidak merasa terganggu
oleh asap kendaraan dan debu pasir. Mereka semua dengan santainya
berjalan atau mengemudi dengan jendela dibuka, hampir tidak ada
kendaraan yang jendelanya tertutup.
Pemandangan jalan di Nairobi
Fairview hotel, mematok harga 250 dolar semalam, bangkrut deh!
Perhentian di Nairobi ini hanyalah
merupakan transit point bagi saya, Björn
dan Viet (yang sudah tiba lebih awal karena menumpang pesawat lain),
kita tidak berencana untuk menghabiskan waktu sama sekali di kota
ini. Mengapa? Karena saya tidak sanggup bayar biaya hotel dan
lain-lainnya. Bagi saya, Nairobi luar biasa mahalnya, saya cepat
bokek kalau harus tinggal lama-lama di sini. Harga hotel bintang tiga
yang biasa-biasa saja memasang harga sekitar 150-250 US dolar per malam.
Biaya makan di restoran di mal sekelas Mangga Dua memaksa saya
merogoh saku sebesar 1700 Kenyan Shilling (atau sekitar 20 dolar). Bagaimana mau backpackingan kalau semuanya mahal begini? Saya
benar-benar merasa miskin di Kenya, sampai akhirnya untuk menu makan
malam kita bertiga memutuskan untuk belanja di supermarket dan
membuat sandwich sendiri.
Keesokan harinya sekitar jam 8 pagi
kita bersiap untuk berangkat menuju Arusha. Bus yang kita tumpangi
bisa memuat sekitar 15 orang, tempat duduknya berjejer 4 bangku.
Penuh sekali penumpang busnya, sampai-sampai barang bawaan kita harus
ditaruh di atas atap bus karena tidak muat. Semua penumpang bus
adalah orang asing yang rata-rata bertujuan untuk mendaki
Kilimanjaro,sebagian lagi adalah pekerja sosial. Saya, Bjorn dan Viet
beserta satu bule bertubuh kekar duduk di baris paling belakang,
lebih lega sedikit dibanding baris depan namun sialnya tidak
berjendela. Di baris depan ada segerombol bapak-bapak dari Polandia,
badan mereka besar-besar sekali. Saya kasihan melihat mereka harus
duduk berhimpitan di bangku yang kekecilan dan hampir tidak ada ruang
gerak. Bayangkan saja kita diharuskan duduk berdempetan di dalam bus
selama 6 jam disertai bau keringat semerbak, hmmm...
Bayangkan duduk terhimpit di tengah dua bapak itu selama 6 jam sambil memangku backpack
Namanga border sisi Kenya (source: Tripadvisor)
Untung saja bus berhenti sekali pada saat melewati Namanga border, perbatasan Kenya dan Tanzania. Daerah Namanga sisi Tanzania ini terlihat seperti terminal truk, kantor imigrasinya pun bentuknya seperti loket di stasiun bus. Jika tidak diberitahu mungkin saya tidak akan tahu bahwa ini adalah kantor imigrasi.
Namanga border sisi Tanzania, percaya kan sekarang kalau mirip terminal truk? (source: www.eac.int)
Visa untuk negara Tanzania bisa diperoleh di sini.
Warga negara Indonesia bisa memperoleh visa on arrival seharga
50 dolar dan berlaku untuk 3 bulan. Prosesnya lumayan simpel, petugas
imigrasi tidak meminta dokumen macam-macam dan tidak bertanya apapun.
Satu-satunya pertanyaan yang mereka lontarkan adalah "Where
is your fifty dollars?".
Sesudah mendapatkan 50 dolarnya, mereka lalu tersenyum menjawab
"Karibu, welcome to Tanzania!"
Baca artikel sebelumnya Makan Malam Berujung di Afrika
Baca artikel sebelumnya Makan Malam Berujung di Afrika
No comments:
Post a Comment