Tuesday 29 May 2012

Mencicip kehidupan Bedouin di Wadi Rum


 Hamparan padang pasir Wadi Rum

Wadi Rum. Saya sungguh penasaran dengan tempat yang satu ini. Wadi Rum ini seringkali diasosiasikan dengan figur T.E. Lawrence, seorang tentara Inggris yang ditugaskan di Mesir untuk mengatasi Revolusi Arab melawan tentara Ottoman dari Turki. Padang pasir Wadi Rum ini menjadi terkenal sekali setelah menjadi setting film Lawrence of Arabia (1962), yang memfokuskan tentang pengalaman Lawrence ketika melakukan penyerangan ke Aqaba dan Damascus.


Wadi Rum yang tandus

Pagi itu saya dan Titine berangkat dari Petra menuju Wadi Rum untuk menemui guide kita, seorang Bedouin bernama Aish. Tidak semua orang bisa menjadi guide di Wadi Rum, hanya suku Bedouin yang tinggal di sana saja yang mampu menavigasi tanpa GPS atau kompas. Pasalnya, di tempat ini hanyalah terdapat padang pasir yang luas dan batu-batu besar, tidak ada penunjuk jalan apapun. Sarana transportasi yang tersedia di sana adalah mobil 4x4 yang agak usang (per nya serasa sudah rontok semua) dan unta. 

 Menjelajahi Wadi Rum bisa dengan unta
 Atau dengan jeep yang bobrok
 
Aish mengajak kita berkeliling padang pasir Wadi Rum sambil menjelaskan beberapa tempat yang akan kita kunjungi.
  • Lawrence Spring. Di namai Lawrence Spring karena terdapat sebuah sumber mata air di tengah padang pasir. Lawrence Spring ditandai dengan sebuah pohon ara (fig tree) yang rindang di atas bukit yang berbatu-batu. Untuk mencapai tempat ini kita diharuskan menguras sedikit tenaga memanjat batu-batuannya di tengah terik matahari gurun. 

    Jalan naik yang berbatu-batu di Lawrence Spring

    Pohon ara yang rindang ini menandakan 
    adanya sumber mata air di gurun

  • Rumah tempat Lawrence tinggal selama di gurun, yang sekarang hanya tersisa puing-puingnya saja. Posisinya membelakangi batu besar sehingga cukup teduh dan terlindung dari angin badai pasir. Selagi terkagum-kagumnya saya dengan rumah Lawrence ini, saya mendengar suara “brukk!”, pas saya menoleh ke belakang, Titine sudah tertelungkup mencium tanah. Rupanya dia saking asiknya foto-foto lupa berjalan melihat ke bawah.

     Inilah tempat T.E Lawrence tinggal selama di Wadi Rum 

     Titine beristirahat sambil berjemur

    Lukisan dinding seperti ini banyak terdapat di Wadi Rum,
    berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi sesama musafir

  • Bukit-bukit pasir (sand dunes) yang seru sekali buat perosotan, tetapi untuk naik ke atasnya amat sangat melelahkan. Setiap tiga langkah ke atas kita terperosok satu langkah ke bawah. Sepatu yang kita pakai pun jadi berat karena terisi pasir, akhirnya kita memutuskan untuk telanjang kaki saja. 

     Bukit-bukit pasir atau sand dunes tingginya bisa mencapai beberapa puluh meter

    Bayangkan kemasukan pasir sebanyak ini!

  • Burdah Rock Bridge, jembatan batu terbesar di Wadi Rum. Untuk naik ke atas kita harus memanjat sekitar 35m seperti cicak karena lumayan curam batu-batunya. Sesampainya di atas kita menyuruh Aish untuk memotret kita dan kita dengan bangganya bergaya-gaya di atas. Setelah turun kita baru sadar kalau Aish memoto kita dengan zoom! Dengan terpaksa kita naik untuk kedua kalinya, kali ini memastikan bahwa Aish tidak menggunakan zoom, supaya foto kita terlihat lebih keren. 

     Saya harus berhati-hati sekali memanjat ke atas
    karena tidak ada tali pengamannya!!

    Burdah Rock Bridge, deg-degan sekali sewaktu di atas

  • Suatu tempat di gurun, di mana Aish tiba-tiba menghentikan mobil dan menggelar tikar sambil menyajikan teh manis hangat. Di situ sudah berkumpul beberapa turis lain beserta guide mereka. Kita semua rupanya diajak untuk menikmati matahari yang perlahan-lahan terbenam ditelan malam. Berada di tempat itu untuk menunggu dalam keheningan gurun membuat saya mengingat kembali kehebatan Sang Pencipta. Sudah lama sekali rasanya saya tidak pernah meluangkan waktu walau hanya sejenak, untuk menikmati keindahan matahari senja.
 Aish mempersiapkan teh hangat bagi kita

Menanti matahari senja yang indah

Hari kita di Wadi Rum ditutup dengan makan malam di kamp Bedouin. Malam ini pun kita akan tinggal di tenda seperti tenda suku Bedouin asli, tapi versi turis. Di dalam tenda hanya terdapat 2 ranjang kecil, itu saja. Tidak ada wc, tidak ada listrik, tidak ada meja atau lemari, benar-benar sangat sederhana. Untungnya saya dan Titine membawa sleeping bag sehingga kita tidak kedinginan di malam hari. Menu makan malam saat itu adalah kebab daging dan sayuran. Cara memasaknya sangat unik, makanan ditaruh di dalam panggangan berbentuk drum besar lalu dikubur di dalam tanah. Apinya pun berada di dalam tanah sehingga tidak terlihat asap sama sekali di atas permukaan. Saya tidak mengira rasa makanannya ternyata lumayan lezat, sampai malu mau meminta tambah lagi. 

Bermalam di alam terbuka di tengah gurun pasir

Sesudah makan malam, semua orang di kamp saling berkenalan dan bertukar cerita. Menarik sekali mendengar cerita-cerita mereka. Ada seorang wanita Australia bernama May, dia telah bertualang keliling dunia sendiri selama beberapa bulan. May sangat tergila-gila dengan yoga, dia ingin menghabiskan beberapa bulan terakhir perjalanan dia untuk pergi ke India untuk mendalami yoga. 

Malam itu May juga mengajak semua orang di kamp untuk ikut sesi yoga gratis besok pagi. Namun sepertinya tidak ada yang tertarik untuk bangun pagi selain saya dan Titine dan dua pemuda Inggris, Paul dan Sebastian yang kucel sekali penampilannya. Paul dan Sebastian ini juga tengah ber-backpacking keliling dunia. Keesokan paginya saya dan Titine sudah bersiap-siap di luar tenda. May , Sebastian dan Paul juga sudah siap di atas tikar. Kita berlima berdiri berjejer menghadap arah Timur sembari mengikuti gerakan May menyambut matahari terbit, saluting the sun. Acara yoga ini hanya berlangsung selama sekitar 30 menit, walaupun hanya sebentar tetapi memberi kesan yang mendalam bagi saya. Kapan lagi kita bisa beryoga ria gratis di tengah padang pasir sambil menyambut matahari pagi? 

 Sesi yoga pagi, karena masih ngantuk gerakan kita tidak ada yang sinkron

Hanya sehari semalam kita habiskan di Wadi Rum, tetapi rasanya banyak sekali aktivitas-aktivitas yang sudah kita lakukan di sini. Sayangnya kita tidak bisa berlama-lama di tempat ini karena kita harus melanjutkan perjalanan menuju Aqaba, kota dipaling selatan Jordan. Wadi Rum yang terlihat gersang dan kering ternyata juga memiliki keindahan dan keunikan tersendiri. 

 Betapa kecilnya saya di tempat ini!


Titine si pengembara


Baca petualangan sebelumnya di Petra


No comments:

Post a Comment