Hamparan padang pasir Wadi Rum
Wadi Rum yang tandus
Pagi itu saya dan Titine berangkat dari
Petra menuju Wadi Rum untuk menemui guide kita, seorang Bedouin
bernama Aish. Tidak semua orang bisa menjadi guide di Wadi Rum, hanya
suku Bedouin yang tinggal di sana saja yang mampu menavigasi tanpa
GPS atau kompas. Pasalnya, di tempat ini hanyalah terdapat padang
pasir yang luas dan batu-batu besar, tidak ada penunjuk jalan apapun.
Sarana transportasi yang tersedia di sana adalah
mobil 4x4 yang agak usang (per nya serasa sudah rontok semua) dan
unta.
Menjelajahi Wadi Rum bisa dengan unta
Atau dengan jeep yang bobrok
Aish mengajak kita
berkeliling padang pasir Wadi Rum sambil menjelaskan beberapa tempat
yang akan kita kunjungi.
- Lawrence Spring. Di namai Lawrence Spring karena terdapat sebuah sumber mata air di tengah padang pasir. Lawrence Spring ditandai dengan sebuah pohon ara (fig tree) yang rindang di atas bukit yang berbatu-batu. Untuk mencapai tempat ini kita diharuskan menguras sedikit tenaga memanjat batu-batuannya di tengah terik matahari gurun.Jalan naik yang berbatu-batu di Lawrence SpringPohon ara yang rindang ini menandakanadanya sumber mata air di gurun
- Rumah tempat Lawrence tinggal selama di gurun, yang sekarang hanya tersisa puing-puingnya saja. Posisinya membelakangi batu besar sehingga cukup teduh dan terlindung dari angin badai pasir. Selagi terkagum-kagumnya saya dengan rumah Lawrence ini, saya mendengar suara “brukk!”, pas saya menoleh ke belakang, Titine sudah tertelungkup mencium tanah. Rupanya dia saking asiknya foto-foto lupa berjalan melihat ke bawah.Inilah tempat T.E Lawrence tinggal selama di Wadi RumTitine beristirahat sambil berjemurLukisan dinding seperti ini banyak terdapat di Wadi Rum,berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi sesama musafir
- Bukit-bukit pasir (sand dunes) yang seru sekali buat perosotan, tetapi untuk naik ke atasnya amat sangat melelahkan. Setiap tiga langkah ke atas kita terperosok satu langkah ke bawah. Sepatu yang kita pakai pun jadi berat karena terisi pasir, akhirnya kita memutuskan untuk telanjang kaki saja.Bukit-bukit pasir atau sand dunes tingginya bisa mencapai beberapa puluh meterBayangkan kemasukan pasir sebanyak ini!
- Burdah Rock Bridge, jembatan batu terbesar di Wadi Rum. Untuk naik ke atas kita harus memanjat sekitar 35m seperti cicak karena lumayan curam batu-batunya. Sesampainya di atas kita menyuruh Aish untuk memotret kita dan kita dengan bangganya bergaya-gaya di atas. Setelah turun kita baru sadar kalau Aish memoto kita dengan zoom! Dengan terpaksa kita naik untuk kedua kalinya, kali ini memastikan bahwa Aish tidak menggunakan zoom, supaya foto kita terlihat lebih keren.Saya harus berhati-hati sekali memanjat ke ataskarena tidak ada tali pengamannya!!Burdah Rock Bridge, deg-degan sekali sewaktu di atas
- Suatu tempat di gurun, di mana Aish tiba-tiba menghentikan mobil dan menggelar tikar sambil menyajikan teh manis hangat. Di situ sudah berkumpul beberapa turis lain beserta guide mereka. Kita semua rupanya diajak untuk menikmati matahari yang perlahan-lahan terbenam ditelan malam. Berada di tempat itu untuk menunggu dalam keheningan gurun membuat saya mengingat kembali kehebatan Sang Pencipta. Sudah lama sekali rasanya saya tidak pernah meluangkan waktu walau hanya sejenak, untuk menikmati keindahan matahari senja.
Aish mempersiapkan teh hangat bagi kita
Menanti matahari senja yang indah
Hari kita di Wadi Rum
ditutup dengan makan malam di kamp Bedouin. Malam ini pun kita akan
tinggal di tenda seperti tenda suku Bedouin asli, tapi versi turis.
Di dalam tenda hanya terdapat 2 ranjang kecil, itu saja. Tidak ada
wc, tidak ada listrik, tidak ada meja atau lemari, benar-benar
sangat sederhana. Untungnya saya dan Titine membawa sleeping bag
sehingga kita tidak kedinginan di malam hari. Menu makan malam saat
itu adalah kebab daging dan sayuran. Cara memasaknya sangat unik,
makanan ditaruh di dalam panggangan berbentuk drum besar lalu
dikubur di dalam tanah. Apinya pun berada di dalam tanah sehingga
tidak terlihat asap sama sekali di atas permukaan. Saya tidak
mengira rasa makanannya ternyata lumayan lezat, sampai malu mau
meminta tambah lagi.
Bermalam di alam terbuka di tengah gurun pasir
Sesudah makan malam,
semua orang di kamp saling berkenalan dan bertukar cerita. Menarik
sekali mendengar cerita-cerita mereka. Ada seorang wanita Australia
bernama May, dia telah bertualang keliling dunia sendiri selama
beberapa bulan. May sangat tergila-gila dengan yoga, dia ingin
menghabiskan beberapa bulan terakhir perjalanan dia untuk pergi ke
India untuk mendalami yoga.
Malam itu May juga
mengajak semua orang di kamp untuk ikut sesi yoga gratis besok pagi.
Namun sepertinya tidak ada yang tertarik untuk bangun pagi selain
saya dan Titine dan dua pemuda Inggris, Paul dan Sebastian yang
kucel sekali penampilannya. Paul dan Sebastian ini juga tengah
ber-backpacking
keliling dunia. Keesokan paginya saya dan Titine sudah bersiap-siap
di luar tenda. May , Sebastian dan Paul juga sudah siap di atas
tikar. Kita berlima berdiri berjejer menghadap arah Timur sembari
mengikuti gerakan May menyambut matahari terbit, saluting the
sun. Acara yoga ini hanya berlangsung selama sekitar 30 menit,
walaupun hanya sebentar tetapi memberi kesan yang mendalam bagi
saya. Kapan lagi kita bisa beryoga ria gratis di tengah padang pasir
sambil menyambut matahari pagi?
Sesi yoga pagi, karena masih ngantuk gerakan kita tidak ada yang sinkron
Hanya sehari semalam kita
habiskan di Wadi Rum, tetapi rasanya banyak sekali
aktivitas-aktivitas yang sudah kita lakukan di sini. Sayangnya kita
tidak bisa berlama-lama di tempat ini karena kita harus melanjutkan
perjalanan menuju Aqaba, kota dipaling selatan Jordan. Wadi Rum yang
terlihat gersang dan kering ternyata juga memiliki keindahan dan
keunikan tersendiri.
Betapa kecilnya saya di tempat ini!
Titine si pengembara
No comments:
Post a Comment