Tidak terlintas di pikiran saya bahwa Jordan yang letaknya di Timur
Tengah ternyata cukup hijau dan subur tanahnya. Setidaknya itulah yang
saya saksikan sewaktu mobil melintasi jalan tol dari ibukota Amman
menuju Ajlun dan Jerash, dua kota di kegubernuran bagian Utara Jordan
mendekati perbatasan Syria. Konon kabarnya di daerah Jerash sendiri
terdapat sekitar 2 juta pohon zaitun, tidak mengherankan jika minyak
zaitun andalan Jordan pun berasal dari tempat ini.
Pohon zaitun menghiasi kota-kota di Utara Jordan
Perjalanan menuju Ajlun ditempuh dalam waktu satu setengah jam, untung
saja mobil sedan yang kita tumpangi cukup nyaman. Paling tidak saya bisa
melepas lelah sedikit, walaupun badan masih terasa agak pegal-pegal
karena terlalu lama duduk di dalam pesawat. Saya tidak seberuntung
Titine yang dilempar ke kelas bisnis, tidak jelas juga mengapa
dipindahkan dari ekonomi ke bisnis, teman sebangku saya malahan seorang
bapak-bapak dari Jordan yang bekerja di Dubai. Bapak ini lumayan ramah
dan antusias sekali mengenalkan saya dengan negaranya, sayang sekali
saya tidak bisa terlalu konsen mendengarkan karena bapak ini punya bau
badan yang tidak sedap (sampai-sampai saya kira sepatu saya menginjak
tahi!).
Kastil Ajlun
Tempat wisata utama di Ajlun adalah sebuah kastil di atas bukit.Kastil
Ajlun ini dibangun pada era perang salib sekitar abad 12 sebagai benteng
pertahanan terhadap tentara Crusader. Letaknya yang strategis menghadap
lembah Jordan memastikan kelancaran dan keamanan jalur perdagangan
antara Jordan dan Syria. Kastil Ajlun tidaklah besar ukurannya jika
dibandingkan dengan kastil-kastil di Eropa. Di dalamnya terdapat banyak
ruangan-ruangan dengan jendela batu yang sangat sempit bukaannya, tidak
banyak cahaya yang bisa masuk ke dalam sehingga ruangan-ruangannya
terasa dingin dan lembab . Beberapa gempa yang terjadi di tahun 1800-an
menghancurkan sebagian dari bangunan kastil, oleh karena itu kastil
Ajlun ini terlihat seperti reruntuhan dari luar. Baru-baru ini saja
pemerintah Jordan memulai proses restorasi untuk membangun kembali
bagian yang hancur.
Interior kastil
Yang paling berkesan bagi saya di tempat ini adalah kopi yang dijual
oleh seorang Bedouin di depan kastil. Rasa kopinya sungguh unik, unik
karena tidak terasa kopinya sama sekali! Kopi seharga 1 dinar ini sangat
kental wangi herbalnya. Ini dikarenakan si penjual memasukkan berbagai
macam rempah-rempah ke dalamnya, terutama rempah-rempah cardamom
(kapulaga). Di sini lah pertama kalinya saya menyadari bahwa orang-orang
di Jordan sangat menyukai rasa manis, manis semanis-manisnya. Kopi saya
pun manisnya bukan main seperti ketumpahan gula saja rasanya.
Kopi ala suku Bedouin yang super wangi dan manis
Selepasnya dari Ajlun kita berangkat menuju Jerash. Pada awalnya saya
agak ragu apakah kota Jerash layak dikunjungi, apalagi setelah melihat
foto-foto dari google yang hanya memperlihatkan batu-batu sisa-sisa
reruntuhan. Namun setelah tiba di sana, saya akui bahwa saya benar-benar
terpesona dengan kemegahannya.
Jerash
Diperkirakan kota Jerash ini sudah berdiri sejak tahun 2000 sebelum
masehi. Bangsa Romawi membangun kota Jerash ini sebagai pusat
perdagangan dan peribadahan, lengkap dengan infrastruktur yang bisa
dibilang sangat modern di masa itu. Di bagian paling luar pusat kota
terdapat hippodrome atau arena olahraga, di mana sering diadakan balapan
kereta kuda di tempat ini. Memasuki bagian dalam kota saya merasakan
kemiripan kota Jerash dengan Pompeii, di mana terdapat pilar-pilar khas
Romawi menghiasi sepanjang jalan, kuil-kuil besar tempat pemujaan dan
ampiteater Romawi tempat pertunjukan dan pidato.
Hippodrome - tempat diadakan balapan kuda
Guide kita di Jerash bernama Mohammad, tidak perlu saya jelaskan seperti
apa orangnya, yang jelas dia mengingatkan saya pada Ian McKellen (si
Gandalf di Lord of the Rings). Mohammad yang ini terlihat sangat necis
dengan jaket kulit hitamnya, sangat berbeda dengan Mohammad supir kita
di Jordan yang gembul dan suka ngupil itu.
Mohammad guide kita
Sembari menjelaskan tentang silsilah kota Jerash, Mohammad si guide
memperlihatkan bahwa pilar-pilar Romawi yang ada di situ semua dibangun
tanpa semen dan pondasi besi. Sebagai buktinya dia menyuruh saya dan
Titine untuk mencoba memasukkan tangan ke bagian bawah reruntuhan pilar
yang tingginya sekitar 10 meteran. Saya bisa merasakan bahwa pilar itu
bergoyang-goyang ditiup angin, namun tidak roboh, luar biasa. Ini
hanyalah salah satu dari kehebatan arsitektur dan tata kota bangsa
Romawi.
Berikutnya kita diajak mengunjungi
ampiteater yang berbentuk lingkaran dengan tribun-tribun tertata rapi
seperti anak tangga. Saya pernah mengunjungi beberapa ampiteater seperti
ini, tetapi tidak pernah saya sadari bahwa ada keunikan tersendiri dari
bangunan ini. Ada satu titik di bagian tengah panggung di mana jika
kita berdiri dan berbicara di situ, suara kita akan menggema seolah-olah
kita sedang menggunakan mikrofon sehingga suara kita akan terdengar
bahkan oleh orang yang duduk di bagian paling jauh dari tribun
sekalipun. Tidak ada tipuan ataupun alat komunikasi modern yang dipasang
di situ, semua hanyalah berdasarkan ilmu matematika dan fisika.
Ampiteater dengan sound system alami
Mohammad juga menceritakan bahwa kota Jerash yang kita lihat sekarang
ini hanyalah sebagian kecil dari kota Jerash di awal masehi. Gempa besar
yang terjadi di tahun 700 mengubur sebagian besar kota ini dan sampai
saat ini pun penggalian masih dilakukan untuk menemukan kembali kota
Jerash yang tertimbun di bawah tanah sedalam beberapa belas meter.
Reruntuhan Jerash di tahun 2012
Padang rumput yang dihiasi bunga-bunga liar musim semi yang terhampar
luas di Jerash saat ini mungkin akan terlihat berbeda 50 tahun
mendatang. Saya dan Titine sepakat bahwa kita akan kembali ke tempat ini
50 tahun lagi, jika kita masih bisa berjalan. Bisa jadi kota Jerash
yang sempat hilang akan muncul kembali saat itu!
Baca tentang asal mula petualangan di Jordan
No comments:
Post a Comment