Wednesday, 23 May 2012

Menikmati Keindahan Reruntuhan Ajlun dan Jerash

Tidak terlintas di pikiran saya bahwa Jordan yang letaknya di Timur Tengah ternyata cukup hijau dan subur tanahnya. Setidaknya itulah yang saya saksikan sewaktu mobil melintasi jalan tol dari ibukota Amman menuju Ajlun dan Jerash, dua kota di kegubernuran bagian Utara Jordan mendekati perbatasan Syria. Konon kabarnya di daerah Jerash sendiri terdapat sekitar 2 juta pohon zaitun, tidak mengherankan jika minyak zaitun andalan Jordan pun berasal dari tempat ini.

Pohon zaitun menghiasi kota-kota di Utara Jordan

Perjalanan menuju Ajlun ditempuh dalam waktu satu setengah jam, untung saja mobil sedan yang kita tumpangi cukup nyaman. Paling tidak saya bisa melepas lelah sedikit, walaupun badan masih terasa agak pegal-pegal karena terlalu lama duduk di dalam pesawat. Saya tidak seberuntung Titine yang dilempar ke kelas bisnis, tidak jelas juga mengapa dipindahkan dari ekonomi ke bisnis, teman sebangku saya malahan seorang bapak-bapak dari Jordan yang bekerja di Dubai. Bapak ini lumayan ramah dan antusias sekali mengenalkan saya dengan negaranya, sayang sekali saya tidak bisa terlalu konsen mendengarkan karena bapak ini punya bau badan yang tidak sedap (sampai-sampai saya kira sepatu saya menginjak tahi!). 

Kastil Ajlun 

Tempat wisata utama di Ajlun adalah sebuah kastil di atas bukit.Kastil Ajlun ini dibangun pada era perang salib sekitar abad 12 sebagai benteng pertahanan terhadap tentara Crusader. Letaknya yang strategis menghadap lembah Jordan memastikan kelancaran dan keamanan jalur perdagangan antara Jordan dan Syria. Kastil Ajlun tidaklah besar ukurannya jika dibandingkan dengan kastil-kastil di Eropa. Di dalamnya terdapat banyak ruangan-ruangan dengan jendela batu yang sangat sempit bukaannya, tidak banyak cahaya yang bisa masuk ke dalam sehingga ruangan-ruangannya terasa dingin dan lembab . Beberapa gempa yang terjadi di tahun 1800-an menghancurkan sebagian dari bangunan kastil, oleh karena itu kastil Ajlun ini terlihat seperti reruntuhan dari luar. Baru-baru ini saja pemerintah Jordan memulai proses restorasi untuk membangun kembali bagian yang hancur.

 Interior kastil

Yang paling berkesan bagi saya di tempat ini adalah kopi yang dijual oleh seorang Bedouin di depan kastil. Rasa kopinya sungguh unik, unik karena tidak terasa kopinya sama sekali! Kopi seharga 1 dinar ini sangat kental wangi herbalnya. Ini dikarenakan si penjual memasukkan berbagai macam rempah-rempah ke dalamnya, terutama rempah-rempah cardamom (kapulaga). Di sini lah pertama kalinya saya menyadari bahwa orang-orang di Jordan sangat menyukai rasa manis, manis semanis-manisnya. Kopi saya pun manisnya bukan main seperti ketumpahan gula saja rasanya.
 Kopi ala suku Bedouin yang super wangi dan manis

Selepasnya dari Ajlun kita berangkat menuju Jerash. Pada awalnya saya agak ragu apakah kota Jerash layak dikunjungi, apalagi setelah melihat foto-foto dari google yang hanya memperlihatkan batu-batu sisa-sisa reruntuhan. Namun setelah tiba di sana, saya akui bahwa saya benar-benar terpesona dengan kemegahannya. 

 Jerash

Diperkirakan kota Jerash ini sudah berdiri sejak tahun 2000 sebelum masehi. Bangsa Romawi membangun kota Jerash ini sebagai pusat perdagangan dan peribadahan, lengkap dengan infrastruktur yang bisa dibilang sangat modern di masa itu. Di bagian paling luar pusat kota terdapat hippodrome atau arena olahraga, di mana sering diadakan balapan kereta kuda di tempat ini. Memasuki bagian dalam kota saya merasakan kemiripan kota Jerash dengan Pompeii, di mana terdapat pilar-pilar khas Romawi menghiasi sepanjang jalan, kuil-kuil besar tempat pemujaan dan ampiteater Romawi tempat pertunjukan dan pidato.

 Hippodrome - tempat diadakan balapan kuda

Guide kita di Jerash bernama Mohammad, tidak perlu saya jelaskan seperti apa orangnya, yang jelas dia mengingatkan saya pada Ian McKellen (si Gandalf di Lord of the Rings). Mohammad yang ini terlihat sangat necis dengan jaket kulit hitamnya, sangat berbeda dengan Mohammad supir kita di Jordan yang gembul dan suka ngupil itu. 

 Mohammad guide kita

Sembari menjelaskan tentang silsilah kota Jerash, Mohammad si guide memperlihatkan bahwa pilar-pilar Romawi yang ada di situ semua dibangun tanpa semen dan pondasi besi. Sebagai buktinya dia menyuruh saya dan Titine untuk mencoba memasukkan tangan ke bagian bawah reruntuhan pilar yang tingginya sekitar 10 meteran. Saya bisa merasakan bahwa pilar itu bergoyang-goyang ditiup angin, namun tidak roboh, luar biasa. Ini hanyalah salah satu dari kehebatan arsitektur dan tata kota bangsa Romawi.
Berikutnya kita diajak mengunjungi ampiteater yang berbentuk lingkaran dengan tribun-tribun tertata rapi seperti anak tangga. Saya pernah mengunjungi beberapa ampiteater seperti ini, tetapi tidak pernah saya sadari bahwa ada keunikan tersendiri dari bangunan ini. Ada satu titik di bagian tengah panggung di mana jika kita berdiri dan berbicara di situ, suara kita akan menggema seolah-olah kita sedang menggunakan mikrofon sehingga suara kita akan terdengar bahkan oleh orang yang duduk di bagian paling jauh dari tribun sekalipun. Tidak ada tipuan ataupun alat komunikasi modern yang dipasang di situ, semua hanyalah berdasarkan ilmu matematika dan fisika.

Ampiteater dengan sound system alami

Mohammad juga menceritakan bahwa kota Jerash yang kita lihat sekarang ini hanyalah sebagian kecil dari kota Jerash di awal masehi. Gempa besar yang terjadi di tahun 700 mengubur sebagian besar kota ini dan sampai saat ini pun penggalian masih dilakukan untuk menemukan kembali kota Jerash yang tertimbun di bawah tanah sedalam beberapa belas meter.

 Reruntuhan Jerash di tahun 2012

Padang rumput yang dihiasi bunga-bunga liar musim semi yang terhampar luas di Jerash saat ini mungkin akan terlihat berbeda 50 tahun mendatang. Saya dan Titine sepakat bahwa kita akan kembali ke tempat ini 50 tahun lagi, jika kita masih bisa berjalan. Bisa jadi kota Jerash yang sempat hilang akan muncul kembali saat itu!


Baca tentang asal mula petualangan di Jordan



No comments:

Post a Comment