Tujuan pertama kita
adalah Mukawir. Sepanjang perjalanan kita melihat pemandangan yang menarik. Ada
yang gersang dan tandus, tapi ada juga yang ditumbuhi padang rumput hijau
dengan bunga-bunga liarnya. Bukit demi bukit kita lewati. Benar benar rasanya
seperti lautan bukit sepanjang jalan. Jalannya pun tidak lurus saja, kadang ke
kanan dan kadang ke kiri. Kalau kita ingat lagu “Naik-naik ke Puncak Gunung”,
yaaa seperti itulah rasanya kira-kira (tapi pohon cemaranya diganti dengan
pohon zaitun).
Kita adalah pengunjung pertama hari itu. Gerbangnya masih dikunci! Wah, saya sangat bangga. Saya dan Inji berteriak saking senangnya karena kita tidak melihat satu orang pun di sana. Langsung saja kita berjalan melalui jalan setapak. Dari kejauhan terdengah suara “ning nong ning nong...” Lalu kita melongok ke bawah. Di kaki bukit, ada segerombolan domba dan gembalanya.
Setelah berjalan, berlari
dan melompat kecil sepanjang jalan setapak yang berliku, akhirnya sampai juga
kita di puncak bukit Mukawir. Di sana, berdiri berjajar pilar-pilar Korintian
dengan batu-batu reruntuhan yang berserakan. Di sinilah tempat Yohanes
pembabtis diperintahkan untuk dipenggal. Suasana di atas bukit begitu sunyi dan
penuh kehampaan, warnanya saja hampir sama semua. Hal itu meninggalkan impresi
tentang gunung kematian.
Kita melanjutkan
perjalanan lagi. Kali ini kita melewati daerah Wadi Mujib. Daerah ini banyak
dipakai untuk aktivitas olahraga yang membutuhkan adrenalin yang tinggi. Karena
kabut dan debu dari padang pasir yang tebal, pemandangan Wadi Mujib tidak
seberapa jelas. Namun bisa dibayangkan formasi batu-batu yang besar beserta
dengan lembah-lembahnya yang dalam.
Dari situ, kita langsung
menuju kastil Karak. Kota Karak mengingatkan saya akan kota di Skotlandia.
Terutama karena jalannya yang sempit-sempit, susunan kotanya yang
berbukit-bukit, dan adanya kastil yang kelihatan megah di puncaknya. Kota
dengan populasi 20,000 jiwa ini dibangun sejak jaman dinasti Ottoman. Karak
juga sudah berpindah tangan dari Ottoman, Nabatian, Romawi, Byzantium dan Arab.
Pemuda Nabatian yang kita temui di Wadi Mujib
Kastil Karak termasuk
besar dan seluruhnya terbuat dari batu. Sambil menyusuri kastil, kita bisa
melihat tanda-tanda peradaban di dalamnya. Mulai dari pasar, kamar-kamar tempat
tinggal, penjara pun ada di sana. Sepertinya kastil ini berfungsi sebagai
sebuah kota dulunya.
Inji membeli tiket untuk kastil Karak. Mohammed terlalu malas untuk turun ke loket.
Pemandangan kastil dari atas bukit
Interior kastil Karak disinari cahaya dari celah di atap
Karak juga terkenal akan
makanannya yang bernama ‘mansaf’, artinya makan besar atau paket jumbo. Pertama
kali melihat bentuknya, saya agak jijik untuk memakannya. Sebabnya di makanan
ini dicampur daging kambing, nasi dan yoghurt. Bayangkan saja harus mencoba
makan nasi ‘benyek’. Untungnya, setelah masuk mulut, kita baru bisa merasakan
nikmatnya mansaf. Kita sampai tambah 2 kali!
Kita juga melihat kastil
Shubak di tengah perjalanan. Berbeda dengan Karak yang terletak di tengah
hiruk-pikuk kota, kastil Shubak berdiri dengan elegannya di tengah hamparan
kosong yang luas. Sayang kita tidak punya banyak waktu untuk menelusuri kastil
Shubak.
Pemandangan di luar
jendela semakin lama semakin menarik. Formasi batu-batu yang besar tiba-tiba
muncul di tengah padang rumput. Dari padang rumput lalu berubah menjadi pasir.
Batu demi batu terus bermunculan. “Ini daerah Wadi Musa,” kata sopir kita
Mohammad. Mobil berhenti dan sampailah kita di Little Petra (versi kecil dari
Petra). Pemandangan yang terbentang di depan kita sangatlah cantik. Saya juga
berpikir, kalau ini Little Petra, bagaimana dengan Big Petra. Faktanya Little
Petra tidak kecil sama sekali.
Kita melihat pahatan di
bukit batu yang pertama. Saya dan Inji sangat girang dalam mengambil foto.
Semakin masuk ke dalam kompleks, semakin kita terpukau dengan keindahannya.
Kita berjalan di atas pasir merah yang lembut. Di kanan kiri berjejer lubang-lubang
pahatan pada bukit batu. Di akhir jalanan pasir, terlihat pijakan-pijakan batu
yang sempit dan tinggi untuk menuju ke atas. Papan yang bertuliskan “The best
view in the world” terpasang di samping rute tersebut. Satu-satunya cara untuk
mengetahui seberapa bagusnya pemandangan di atas adalah dengan NAIK ke atas.
Ukiran gua di Little Petra (Al- Beidha)
Jadi? Apakah ini pemandangan terindah di dunia? Menurut saya.. sangat menarik :)
Mohammad menawarkan
atraksi melihat Petra di saat malam. Tentu saja saya dan Inji tidak mau
melewatkan kesempatan ini.
Malam itu, setelah
beristirahat sebentar di hotel dan menikmati Shawarma untuk makan malam, kita
berangkat lengkap dengan senter, camera dan tripod. Angin malam yang sejuk
menemani perjalanan ‘bersahaja’kita. Terlihat lilin-lilin menyala di sepanjang
rute menuju Al-Khazneh (kuil di Petra yang terkenal). Ribuan bintang bertaburan
di langit yang hitam kelam. Jujur saja, tidak banyak yang bisa saya lihat malam
itu. Awalnya pun, tercium bau kotoran kuda yang menyengat.
Meski tidak bisa melihat,
yang kita rasakan sangatlah luar biasa. Apalagi waktu kita sampai di celah di
antar 2 batu yang besar dan tinggi sekali. Saya merasa kecil seperti ditelan
bumi. Kita semua rombongan tour malam Petra, berjalan dengan 1 tujuan yang
sama. Semuanya juga diingatkan untuk menjaga keheningan.
Akhirnya sampai juga di
Al-Khazneh yang megah. Saya berdiri di sana dan tidak bisa menutup mulut karena
kagumnya. Meskipun sudah sering lihat gambarnya, Al-Khazneh yang asli tetap
memukau. Apalagi hanya dengan disinari dengan cahaya lilin saja. Kita mengambil
posisi untuk duduk bersila di atas hamparan karpet. Selanjutnya kita
disajikan teh hangat sambil menikmati musik dan nyanyian yang dibawakan bangsa
Bedouin. Semua hening, hanya suara alat musik tiup, berganti dengan alat musik petik rebab yang diiringi dengan nyanyian Bedouin. Satu kata untuk mendeskripsikannya: INDAH.
Petra di bawah taburan ribuan bintang
Suasana di depan Al-Khazneh dengan lilin-lilinnya
No comments:
Post a Comment