Thursday, 24 May 2012

Berkunjung ke Makam Nabi Musa

Pagi itu, Saya dan Inji berangkat untuk mengunjungi satu kota kecil di barat daya dari Amman. Nama kota itu adalah Madaba. Madaba yang kecil dan cantik mengingatkan saya pada kota-kota abad pertengahan di Eropa. Jalannya di lapisi dengan batu cobble yang besar. Toko-toko kecil berjejer rapi di kanan-kiri. Ada kalanya barang-barang dagangan tidak hanya ada di dalam toko, tetapi juga dipamerkan di pinggir-pinggir jalan.

 Toko-toko dengan warna-warna meriah

Madaba mempunyai karakter unik sebagai ibukota mosaic di Jordan. Byzantium dan Ummayad mosaic panggilannya. Madaba mendapat banyak pengaruh dari era keKristenan yang dibawa oleh Byzantium dan era Islam yang dibawa pemerintahan Ummayad. Hal ini membuat Madaba sebagai kota yang sangat menarik yang berhiaskan mosaic warna-warni paduan dari budaya Kristen dan Islam.


 Pedagang asongan di Madaba mencoba menawarkan buah di gerobaknya.    

Kita dibawa menuju gereja Ortodok Yunani St. George untuk melihat karya Byzantium yang berupa mosaic dari areal tanah suci. Namun, sesampainya di sana, kita mendapatkan bahwa gereja belum dibuka untuk umum. Masih ada misa yang berlangsung. Rasa ingin-tau saya tiba-tiba muncul. Saya ingin mendengar dan melihat yang terjadi di dalam gereja. Alasannya, ini merupakan sesuatu hal yang tidak biasa. Di Indonesia, bahasa Arab hampir selalu di asosiasikan dengan agama Islam. Yang terjadi di St. George, mereka menjalankan ibadah dalam bahasa Arab. Saya yang tidak mengerti bahasa tersebut tentu saja tidak bisa membedakan apabila ibadah tersebut dijalankan di masjid ataupun gereja. Bagi saya, ini merupakan pengalaman yang luar biasa.

Saya dan Inji sempat melihat peninggalan mosaic di dua tempat, St. George Greece Orthodox Church dan Ruin of Virgin Mary Church. Saya juga sempat berkenalan dengan anak perempuan yang nakal yang sempat dengan isengnya memukul bokong saya dan lari sambil tertawa-tawa.

 Ini dia! Si badung dari gereja St. George
Peta yang menunjukkan tanah suci, dari sungai Jordan, Bethlehem, Jerusalem Laut Mati dan lainnya

Dari Madaba, kita melanjutkan perjalanan ke gunung Nebo, tempat wafatnya Nabi Musa. Dari gunung Nebo terbentang pemandangan luas tanah suci. Di sana kita bisa melihat arah ke Betlehem, Laut Mati dan lain-lain. Pemandangan di sana sangat memukau. Padang rumput yang luas dengan bunga liar berwarna-warni bagaikan karpet yang indah menyelimuti tanah suci. Tidak heran apabila Nabi Musa memilih tempat ini untuk kembali ke Tuhan, begitu pikir saya.


 Musim semi telah tiba bersama dengan bunga-bunga liar yang menyelimuti gunung Nebo

 Di sinilah Nabi Musa berdiri memandangi tanah perjanjian

 Prasasti makam nabi Musa

Sesudah mengunjungi gunung Nebo, kita melanjutkan perjalanan ke destinasi terakhir untuk hari itu, Laut Mati yang terkenal. Saya dan Inji sudah siap dengan losion anti matahari, kacamata hitam, topi dan baju berenang. Kita tidak sabar untuk langsung mencelupkan diri ke Laut Mati, di mana kabarnya, tubuh kita tidak akan bisa tenggelam.

Sesampainya di resort tepi Laut Mati, kita langsung berlarian menuju laut. Sudah banyak turis di sana yang menikmati hangatnya matahari sambil membentangkan tubuh di atas laut. Sangat mengagumkan, tubuh kita benar-benar tidak tenggelam sama sekali! Bahkan untuk berenang saja sulit rasanya. Air laut yang luar biasa asinnya itu seakan-akan terus-terusan mendorong badan kita untuk tetap mengapung.

Akibat kandungan garam yang berlebihan, bagian badan yang kering terasa sangat pedih. Untung saja, kunjungan ke Laut Mati ini adalah bagian perjalanan hari kedua kita. Bayangkan apabila ini adalah hari terakhir dari perjalanan, akan sangat sulit menikmati pengalaman mengapung di Laut Mati.

Asyik kan!!! Tubuh kita mengapung bagaikan gabus. Mau mencoba tenggelam sekuat tenaga pun, pasti akan gagal.

Di pinggir pantai, sudah tersedia juga lumpur hitam dari Laut Mati untuk pengunjung yang ingin melumuri tubuh dengan mineral dari Laut Mati. Tentu saja kita tidak mau ketinggalan. Kita mulai proses melumuri tubuh dengan lumpur yang hitam pekat itu. Tangan, kaki, leher, muka, tidak ada bagian tubuh yang ketinggalan. Siapa tau, setelah ini, kulit saya bisa selicin sutera dari China.

Sekarang tidak ada lagi ras manusia yang berbeda. Semua terlihat sama. Kulit hitam! Tidakkah itu menakjubkan! Tapi tentu saja, keaneka-ragaman akan lebih indah.

Kita memutuskan untuk kembali ke Amman untuk melewati malam. Selain mahal, kita rasa, tidak banyak yang bisa dilakukan di Resort Hotel di Laut Mati. Laut Mati tidak seperti laut pada umumnya yang bisa dinikmati berjam-jam lamanya.

 Transformasi menjadi dakocan


Baca petualangan sebelumnya di Jerash

No comments:

Post a Comment